oleh Andy Rustam
Radio Broadcasting sejak kelahirannya pertama kali di th.1906, sudah berkali-kali mengalami jatuh-bangun menghadapi “tantangan” kehadiran media baru. Format siaran radio yang dibuat mirip media cetak (magazine / general format) pada era itu sangat berjaya, sehingga radio menjadi sumber informasi dan hiburan utama di masyarakat dan keluarga-keluarga (di Amerika). Kehadiran Television Broadcasting di th.1930, dengan keunggulan visualnya selain audio, menyebabkan televisi dengan magazine / general program format yang selama ini dilakukan radio, lebih mampu memberikan acara-acara hiburan, drama, musik, berita dan informasi secara lebih baik dan lebih menarik hati. Perlahan-lahan popularitas radio mulai tergeser. Untungnya ada suatu peristiwa revolusioner terjadi yaitu, kelahiran musik rock di tahun 1955. Grup Bill Haley & The Comets menduduki puncak anak tangga dengan lagu “Rock Around The Clock” menandai lahirnya era musik baru… era musik rock.
Berinovasi Mengoptimalkan Keunggulan
Jenis musik rock n roll ini sangat digandrungi anak-anak muda tapi sangat dibenci oleh orang-orang tua. Hal ini memberikan inspirasi baru bagi orang-orang radio di jaman itu untuk fokus melayani anak-anak muda, karena kelihatannya televisi tidak mampu memuaskan dahaga anak-anak muda akan musik-musik rock, karena banyaknya ragam acara yang harus disiarkan televisi. Radio bagaikan memperoleh amunisi baru untuk bangkit dari keterpurukan. Di tahun-tahun 60-an radio-radio lebih banyak memainkan lagu-lagu yang disukai anak-anak muda dan mulai mengurangi porsi keaneka-ragaman acara-nya. Akhirnya pada pertengahan tahun 60-an lahirlah konsep radio baru dengan format-format khusus yang ditujukan buat segment pendengar tertentu. Misalnya: Music Radio; News Radio; Hits Station dsb. dsb. Radio dengan model program format tertentu ternyata merupakan sebuah inovasi yang tepat, karena ketika itu media penyiaran televisi hanya mengenal sistem magazine / general programming format.
Maka di era tahun 70-an dan th 80-an radio broadcasting kembali berjaya. Radio yang segmented dengan program format khusus, merupakan terobosan untuk bisa unggul dari siaran televisi terrestrial. Namun perkembangan selanjutnya, pada akhir tahun 80-an dan awal 90-an muncul lagi tantangan baru, yaitu lahirnya televisi siaran berlangganan melalui satellite. Siaran televisi berlangganan ini meniru siaran radio yang segmented dan berformat khusus, misalnya: MTV sebuah stasiun penyiaran tv yang bersiaran khusus tayangan musik saja dengan segmen pasar anak-anak muda. Adalagi CNN khusus siaran berita dan informasi saja, dan ESPN yang khusus program-program olah-raga saja. Kemunculan stasiun televisi dengan format-format khusus membuat radio lagi-lagi harus melakukan innovasi. Orang-orang radio berpikir keras mencari sesuatu apa yang bisa dilakukan media radio dalam menyikapi kehadiran media baru, tetapi sulit untuk dilakukan oleh media televisi.
Ketika di Indonesia Hanya Ada TVRI
Di Indonesia pun, radio swasta baru lahir pada akhir tahun 60-an dan secara hukum baru diresmikan pada tahun 1970 oleh Presiden Soeharto melalui Kepres no.55 / 1970. Sepanjang tahun 1970 itulah radio swasta komersil memantapkan existensinya. Ketika pada tahun 1978, TVRI dilarang menyiarkan iklan, serta merta radio menjadi lahan bisnis yang menguntungkan. Radio swasta yang dikelola secara coba-coba / trial & error perlahan-lahan mulai berkembang. Radio-radio swasta ketika itu hampir semuanya masih memakai magazine/general format (mengacu yang dilakukan selama ini oleh RRI). Di akhir 70-an dan awal 80-an akibat persaingan yang semakin tinggi maka mulai berkembang pula radio-radio yang memakai strategi format khusus yang ditujukan kepada segmen pendengar tertentu. Maka lahirlah radio-radio khusus untuk anak muda dengan musik2 Hits, adapula radio khusus untuk orang tua dengan lagu-lagu nostalgia, adalagi radio-radio khusus berita kota yang menjadi acuan kehidupan warga kota dsb dsb…
Ketika TV Swasta Lahir di Indonesia
Di Indonesia pada akhir 80-an dan awal 90-an pemerintah sudah mengizinkan munculnya televisi swasta ketika itu masih lokal (RCTI lokal Jakarta; SCTV lokal Jatim). Radio swasta langsung menyadari bahwa kenikmatan memperoleh iklan secara mudah sejak dihapuskannya iklan melalui TVRI, kini sudah akan berakhir. Orang-orang radio menyadari bahwa langkah awal untuk survived menghadapi persaingan dengan televisi swasta adalah dengan meningkatkan pengetahuan / ilmu, keterampilan serta keahlian profesi. Karena tanpa pengetahuan dan keterampilan tentang media radio, maka akan sulit buat orang-orang radio di Indonesia melakukan innovasi yang pas untuk meghadapi kehadiran media baru (seperti yang telah dilakukan oleh orang-orang radio di Amerika Serikat).
Khususnya PRSSNI Jawa Timur (Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia) yang ketika itu dipimpin oleh Alm. Bpk. Soetoyo Soekomihardjo (Mas Toyo), langsung menggalakan kegiatan pendidikan keradioan untuk berbagai bidang bagi seluruh anggota PRSSNI Jatim dalam berbagai jenjang. Hasilnya memang terlihat jelas, bahwa sepanjang 15 th pertama kehadiran televisi swasta di Indonesia, anggota PRSSNI Jatim adalah yang paling kecil menerima dampak negatifnya. Bahkan sekarang pun eksistensi radio-radio di Jatim tetap baik.
Kini Tantangan Terbaru telah Lahir
Di awal abad 21, industri radio siaran lagi-lagi harus menghadapi tantangan baru, sejalan dengan berkembangnya media mutakhir bernama internet. Kalau dulu radio bisa melakukan pengelompokan audience dengan segmentasi pasar, lalu menyusun materi siaran-nya sesuai kebutuhan sasaran khalayaknya, tetapi sekarang melalui internet, segmentasi pasar sudah menjadi sangat individual dengan audience terpecah tapi sangat besar, karena jangkauannya yang tak terbatas oleh letak geografis. Sifat media internet yang merupakan “pull medium”, menyebabkan setiap individu di seluruh dunia bisa memenuhi kebutuhan / keinginan sesuai selera pribadi masing-masing melalui “search engine”, baik dalam bentuk artikel, picture, audio / video dsb. Belum lagi layanan-layanan yang tersedia di internet-pun sudah semakin khusus pula. Mau mendengar musik terus menerus dengan selera yang sangat individual, ada Spotify / Pandora. Mau menonton film ada Netflix / Iflix. Belum lagi Podcasting yang secara spesifik ber-serie menyajikan materi dengan topik khusus bisa kita pilih sesuai selera. Radio terrestrial yang di-streaming-kan melalui internet-pun ada (walau jarang ada atau kecil sekali pendengarnya). Media baru “internet” ini memang merupakan tantangan berat bagi radio (dan juga televisi).
Tetapi bukankah kita orang-orang radio sudah kenyang pengalaman menghadapi kehadiran media baru, sejak tahun 1906? Bukankah kita selalu berhasil keluar dari tekanan kesulitan-kesulitan tersebut? Jadi, kali inipun kita pasti akan mampu menghadapi tantangan media baru yang bernama “internet”. Hanya saja, syarat utamanya, orang-orang radio harus tahu betul kekuatan dan kelemahan media radio, harus tahu betul karakteristik media radio. Selain itu pelajari pula kekuatan dan kelemahan media internet. Lalu ber-innovasi-lah / ber-kreasi-lah untuk menciptakan sesuatu yang sulit atau tidak bagus kalau dilakukan melalui internet, namun bisa optimal bila dilakukan memanfaatkan karakteristik media radio tersebut. Kita tidak harus memandang internet sebagai musuh, malahan internet bisa kita manfaatkan untuk keuntungan industri radio.
Mungkin kalau PRSSNI masih seperti di era-nya alm. Mas Toyo, pastilah beliau sudah mengagas pelatihan / workshop secara rutin dalam program kerja organisasi, agar industri radio lebih matang dan siap dalam menghadapi tantangan media-media baru masa kini dan di masa depan.(arm)