Latest update September 13th, 2024 4:11 PM
Sep 07, 2020 broadcastmagz Column Comments Off on Berita Negatif di TV
Namun, kalau ditinjau dari tarif iklannya, tarif pemasangan iklan di Harian Kompas lebih tinggi dari tarif di harian Pos Kota. Lucunya, tidak ada Advertising Agency ataupun Media House di zaman itu yang mempersoalkan, kenapa tarif iklan Kompas lebih tinggi dari tarif iklan Pos Kota, sedangkan “rating” Kompas lebih rendah daripada Pos Kota. Mereka mengerti sekali bahwa tarif iklan tidak mesti selalu terkait langsung dengan jumlah/banyaknya pembaca saja. Terbukti di zaman itu, Harian Kompas (dengan jumlah pembaca lebih sedikit) menyerap dana iklan lebih banyak daripada Harian Pos Kota.
Kaitan Berita Negatif dengan Rating
Kalau kita perhatikan kedua koran tersebut di atas, Kompas dan Pos Kota di era orde baru, memang memiliki perbedaan yang sangat jelas dalam isi, terutama dalam pemilihan berita. Headlines dari berita ataupun isi berita/tulisan di banyak halaman pada harian Pos Kota, umumnya adalah berita-berita negatif/sensasi seperti berita kriminal (misal: pembunuhan, pencurian, pemerkosaan, penipuan, dsb.) atau tentang bencana/kecelakaan/musibah dsb. atau berita-berita gossip. Berita negatif terkait dengan politik dan partai memang belum ada, mengingat situasi politik saat itu sangat mengekang prinsip kebebasan pers.
Kira-kira dengan begitulah oplag koran Pos Kota bisa lebih tinggi daripada koran Kompas yang isinya lebih banyak memuat berita-berita yang positif (misal: keberhasilan mencapai prestasi, kesembuhan dari penyakit, sukses mengekspor karya bangsa ke luar negeri). Tentu saja yang terbentuk, kelompok pembaca Kompas memiliki karakter yanbg sangat berbeda dengan kelompok pembaca Pos Kota.
Kalau kita tengok siaran berita di stasiun-stasiun televisi kita di era reformasi sekarang ini, terjadi fenomena yang kira-kira sama, dimana mereka berlomba-lomba adu banyak menyiarkan berita-berita negatif dan sensasional. Hasilnya, stasiun televisi yang lebih banyak menyiarkan berita negatif, akan memperoleh jumlah pemirsa yang lebih banyak (rating lebih tinggi). Sedangkan stasiun televisi yang menyiarkan lebih banyak berita positif, maka jumlah pemirsanya lebih sedikit. Namun dalam soal menyerap dana iklan, fenomena yang terjadi dulu antara harian Kompas dan harian Pos Kota tidak terjadi. Artinya, indikator banyaknya pemirsa atau rating-lah yang menentukan apakah stasiun tersebut akan menerima order pemasangan iklan lebih banyak atau lebih sedikit. Rupanya pandangan orang-orang biro iklan zaman sekarang sudah berbeda.
Akibatnya, wajar saja kalau siaran berita stasiun-stasiun televisi kita cenderung semakin ramai terisi berita negatif, dalam rangka mengejar rating. Selama “musim bencana” di bulan Januari 2014 ini saja, boleh dikatakan hampir setiap hari dan pada setiap kali siaran berita dan informasi di stasiun televisi kita, berisi liputan melulu tentang: Banjir, Kecelakaan, Kriminalitas, Tanah Longsor, Gempa Bumi, Kemacetan parah, Gunung meletus, dsb. Ditambah lagi liputan para pengungsi yang menangis, menderita, sorotan kamera pada jenazah korban tewas dll. yang bertujuan mengeksploitasi emosi negatif pemirsa.
Beberapa pemirsa, termasuk saya, mulai kesal kepada stasiun TV. Selain sudah muak dengan ekploitasi kemalangan tanpa ada solusi tsb. tapi saya pribadi juga sebagai orang broadcast, merasa risih; kok mau yaa… mengejar banyak iklan dengan cara seperti itu? Bener-bener deh para boss televisi itu cuma mikirin kantongnya sendiri, atau untuk kepentingan politis-nya sendiri. Tega banget….
Mengapa Pemirsa Menyukai Berita Negatif?
Sudah banyak sekali penelitian dari universitas-universitas terkemuka di dunia (sejak tahun 70-an sampai hari ini) yang membuktikan bahwa tayangan berita negatif yang terus menerus terekspos kepada pemirsa, akan membuat ketidakseimbangan psikologis pada diri si pemirsa. Berita-berita negatif akan menimbulkan pengalaman suasana hati (mood) yang negatif pula pada diri pemirsa (misal: kesedihan, kemarahan, kekesalan, kemualan, kemurungan, dsb.) Lalu mood negatif ini akan berpengaruh pada bagaimana seseorang menafsirkan peristiwa-peristiwa yang dialami dalam kehidupannya sendiri, yang dapat memicu emosi negatif pula (misal: menjadi mudah marah/emosi yang eksplosif). Lama-lama ini akan meningkatkan suasana hati yang depresif. Hidup pun dipenuhi kekhawatiran/kecurigaan dan semakin acuh tak acuh. Lama-kelamaan secara sosial akan terbentuklah masyarakat yang semakin egoistik, yang selalu mengutamakan keselamatan dan kepentingan diri sendiri. Ini salah satu kesimpulan hasil penelitian dari Graham C. L. Davey, Ph.D. Professor of Psychology di the University of Sussex, UK (1997).
Meskipun barangkali sudah banyak yang tahu tentang dampak negatif dari siaran-siaran berita negatif, yang terus menerus terekspos pada diri pemirsa, namun ada satu pertanyaan penting: “Mengapa kebanyakan masyarakat menyukainya?”. Buktinya rating justru meningkat, bukan? Beberapa penelitian bahkan menunjukkan, berita negatif berkemampuan menarik perhatian 17x lebih kuat daripada berita positif. Mengapa?
Menurut para ilmuwan yang meneliti syaraf otak (neuroscientist), secara naluri otak manusia dibekali banyak sekali alat pendeteksi bahaya sebagai pemberi peringatan dini apabila ada sesuatu yang akan dapat membahayakan dirinya. Ini mirip dengan binatang yang memiliki insting untuk melindungi dan menyelamatkan diri dari ancaman serangan bahaya. Itu sebabnya, berita negatif secara alami akan lebih menarik perhatian kita daripada berita positif. Informasi negatif termasuk misalnya ”resesi ekonomi”, langsung terdeteksi oleh otak sebagai sesuatu ”ancaman” atau merupakan semacam ”peringatan dini” akan datangnya suatu bahaya yang besar. Hal ini akan tertangkap lebih cepat oleh otak dan akan lebih menyita perhatian, ketimbang sebuah berita positif, misalnya: ”Seorang murid SMAN 1 Pamekasan, Madura, Jatim berhasil merebut medali emas dalam Lomba Olimpiade Fisika Internasional di Zagreb, Kroasia”.
Menyajikan Berita Negatif agar berdampak Positif
Jadi, secara alami memang berita negatif akan selalu lebih menarik perhatian. Namun karena dampak dari berita negatif dapat membawa dampak negatif pula terhadap diri seseorang, bahkan juga dalam kehidupan sosial kemasyarakatan, maka tugas kita sebagai broadcaster yang seyogyanya memiliki integritas profesi, untuk menghilangkan/mengurangi dampak negatif tersebut.
Bagaimana caranya? Dari satu berita negatif, janganlah hanya ditampilkan satu titik pandang saja, tetapi juga dari berbagai sudut pandang (news angle) atau dimensi lain. Sehingga pemirsa pun akan bertambah wawasannya, dan mampu mempertimbangkan secara objektif baik atau buruknya. Kebiasaan untuk menilai secara objektif, akan menumbuhkan masyarakat yang semakin bijak dalam berpikir dan bertindak.
Dari satu peristiwa, banyak “dimensi” (politik, ekonomi, sosial, budaya, dsb.) yang bisa diambil, sedangkan dari tiap dimensi banyak “angle” yang bisa dibuat (penekanan pada sebab, akibat, implikasi, objek, subjek, dsb.) Jadi, tidak seperti sekarang ini, sudahlah beritanya negatif, dimensinya cuma itu-itu juga, ketambahan lagi berita dan gambar yang sama diulang-ulang terus menerus.
Silakan Anda perhatikan bagaimana reporter-reporter berita di TV ini mengajukan pertanyaan atau memberikan uraian dalam liputan dari hari ke hari selama empat minggu ini, ya sama saja: ketinggian banjir sekian meter, setinggi pinggang. Apakah sering banjir? Apa mau direlokasi? Kalau motornya mogok diapain? Bagaimana rasanya ibu mengungsi? Pertanyaan-pertanyaannya terkesan bodoh karena tanpa ada kejelasan maksud, dan keesokan harinya muncul lagi hal yang sama pertanyaan yang sama. Padahal itu merupakan hasil liputan baru. Siaran seperti inilah yang lama-kelamaan dapat memberi efek negatif kepada perkembangan masyarakat. Sebenarnya masyarakat akan maju kalau broadcaster-nya pun mempunyai ilmu, wawasan, dan ketrampilan yang maju pula. (Andy Rustam)
Sep 13, 2024 0
Sep 12, 2024 0
Sep 12, 2024 0
Sep 12, 2024 0
Aug 06, 2024 Comments Off on Implementasi AI (Artificial Intelligence) dalam Dunia Broadcasting Masa Kini dan Nanti
Mar 30, 2024 Comments Off on ABU-DBS 2024: LPP TVRI Mendorong Perubahan positif, dan Menciptakan Ekosistem Penyiaran dan Media yang Lebih Baik
Oct 07, 2019 Comments Off on Masalah Produk atau Pemasaran?
May 13, 2019 Comments Off on Bosan Siaran
Jun 20, 2024 Comments Off on Lebih Dekat Dengan Designer Indonesia Cynthia Tan
Jakarta, Broadcastmagz – Cynthia Tan, desainer fesyen...May 06, 2024 Comments Off on Punya Single Lagu Timur, Gunawan Enjoy Banget
Jaka, Broadcastmagz – Bernama lengkap Gunawan...Mar 23, 2024 Comments Off on Iman Brotoseno, Direktur Utama TVRI: Menjaga Eksistensi TVRI di Era Digital
Jakarta, Broadcastmagz – Hari Rabu, 15 November 2023...
Oct 25, 2023
Comments Off on
Rubi Roesli, Arsitek dan Founder dari Biroe Architecture & Interior Kembali Menata Interior
JFW2024
Jun 07, 2023 Comments Off on DJ Asto, Dari Musik ke Politik
Profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut...Aug 06, 2024 Comments Off on Implementasi AI (Artificial Intelligence) dalam Dunia Broadcasting Masa Kini dan Nanti
Feb 14, 2024 Comments Off on KPI Minta MNC Group Menghentikan Penayangan Konten Siaran Berunsur Kampanye pada Hari Pemungutan Suara
Jun 27, 2022 Comments Off on Gubernur Sulut Nilai Gerakan Literasi Tingkatkan Kualitas Isi Siaran
Jun 27, 2022 Comments Off on Media Penyiaran Hadapi Persaingan Tak Adil dari Media Berbasis Internet
Jun 27, 2022 Comments Off on Lembaga Penyiaran Harus Lakukan Riset Guna Bersaing dengan Media Baru
Feb 22, 2017 Comments Off on Jejak Langkah Televisi Indonesia
Jejak Langkah Televisi Indonesia Dari Era Analog ke...Oct 06, 2016 Comments Off on On Air To Online Pengantar Penyiaran Radio
On Air To Online Pengantar Penyiaran Radio Industri siaran...Jul 10, 2014 Comments Off on Panduan Wawancara Televisi
Judul Buku: Panduan Wawancara Televisi Nama Pengarang:...Jul 10, 2014 Comments Off on Radio is Sound Only
Judul Buku: Radio Is Sound Only Pengantar & Prinsip...Jul 10, 2014 Comments Off on Kamus Istilah Penyiaran Digital
Judul Buku: Kamus Istilah Penyiaran Digital Nama Pengarang:...