Latest update January 18th, 2025 7:37 AM
Apr 14, 2016 broadcastmagz Column Comments Off on TV Swasta Kita Sulit Berubah
Kembali celaan dan ejekan datang bertubi-tubi dari masyarakat, yang melihat tayangan berita dan laporan reporter-reporter televisi berita terkait liputan bencana alam khususnya erupsi / meletusnya gunung Merapi. Saking kesalnya dengan laporan berita salah satu televisi, sampai stasiun itu diganti sebutannya sebagai TV Oon, berasal dari kata Televisi Blo’on (televisi bodoh).Pertanyaannya, mengapa para pimpinan dan pekerja di stasiun televisi tersebut justru tidak pernah “merasa” bahwa mereka itu dicaci maki oleh pemirsanya sendiri? Bahkan ada acara infotainment di salah satu TV Swasta, yang menyiarkan ramalan seorang paranormal tentang kondisi Gunung Merapi sampai-sampai masyarakat di sana malah resah. Kok bisa begitu? Saya sendiri yakin, bahwa sebenarnya para orang TV itu sendiri tahu, tetapi mengapa mereka tidak melakukan perubahan apapun?Terus terang saya sendiri sudah bosan menulis tentang ini..Mengapa tetap tidak ada perubahan?(1) Pada dasarnya seorang manusia tidak akan mau berubah apabila ia tidak mempunyai alasan / kebutuhan untuk berubah. Dikarenakan para pemilik TV dan jajaran manajemennya merasa bahwa apa yang telah dilakukannya sekarang itu sudah bagus, jadi buat apa berubah, bukan? Sudah mendatangkan iklan, bukan?Jadi menurut saya, kunci permasalahannya adalah “apa sih kriteria bagus untuk orang-orang TV itu ?”. Buat mereka, kriteria “bagus”, adalah “mudah terjual kepada pemasang iklan”. Jadi berbeda dengan kriteria bagus, yang ada pada penonton TV. Itu sebabnya kritik apapun yang dilontarkan oleh penonton TV tidak akan mampu membuat perubahan pada siaran stasiun TV. Karena mereka tidak sungguh-sungguh ingin berubah. Itu kemungkinan pertama, yaitu mereka tidak mempunyai cukup alasan kenapa harus berubah.Kemungkinan kedua,(2) mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk berubah. Mereka tidak tahu prosesnya uintuk berubah. Ini hal yang lumrah. Tetapi sebenarnya, kalau keinginan berubah itu cukup besar, maka mereka akan berusaha mencari tahu, bukan? Seandainya mereka diberi pengetahuan bagaimana seharusnya dan bagaimana caranya sekalipun, selama motivasi untuk berubah tidak ada, sebagaimana diuraikan di atas, maka mereka tak akan berubah. Tanpa motivasi, maka mempelajari bagaimana caranya berubah untuk menjadi lebih baik, tidak akan cukup membuat mereka bersemangat.Dalam pengalaman sendiri, saya pernah dikontrak oleh seorang boss untuk memberi pengetahuan kepada jajaran anak buahnya. Ini menunjukkan sesungguhnya mereka sangat ingin berubah, termasuk si boss. Tetapi ternyata setelah mereka menguasai ilmu dan methodenya, tetap saja mereka tidak mengeksekusi melakukan perubahan. Akhirnya saya mengetahui alasannya, dan ini sebagai alasan ketiga.(3). Mereka sudah memiliki pengetahuan dan ketrampilan tetapi tidak mau melaksanakan perubahan. Ternyata alasannya adalah, “Mas, kami tidak berani melakukan perubahan.” Perubahan memang seringkali menjadi sesuatu yang menakutkan. Karena kita sudah terlalu lama berada di “comfort-zone”, dimana kita merasa nyaman. Perubahan berarti meninggalkan kenyamanan yang kita miliki, demi sesuatu yang lebih baik, namun hasilnya belum bisa dipastikan 100% apakah akan berhasil atau tidak.Contoh: Sebuah radio yang selama ini formatnya hanya menyiarkan lagu-lagu dangdut dan selama ini cukup sukses disana. Tetapi belakangan ini penggemar lagu-lagu dangdut menurun, karena sedikit demi sedikit mereka beralih menjadi penggemar lagu-lagu pop Indonesia. Sehingga perlahan tapi pasti, pendengar radio ini menjadi berkurang. Akhirnya manajemen memutuskan untuk beralih bukan lagi stasiun khusus lagu dangdut, tetapi juga memutar lagu-lagu pop Indonesia. Timbulah di sini ketakutan, “jangan-jangan kalau dirubah begini nanti jumlah pendengar dangdut, yang walau menurun tapi, masih banyak ini, justru akan lari semua. Bagaimana kalau ini terjadi?” Mereka takut.Nah ini juga menjadi salah satu alasan, yaitu ada ketakutan atau keraguan yang besar untuk berubah mengingat adanya resiko kehilangan “comfort zone”.(4) Kemungkinan yang ke-empat adalah lingkungan kita yang menghambat kita untuk melakukan perubahan. Ada satu pengalaman saya. Saya dipangggil dan dikontrak untuk mengajar seluruh karyawan sebuah stasiun. Ketika sudah selesai belajar selama 3 bulan, murid-murid ingin meng-implementasi-kan ilmu yang diajarkan, tetapi oleh si boss (yang mengontrak saya) ilmu tersebut “tidak boleh dipraktekkan”.Alasannya sederhana saja, bahwa si boss tidak setuju dengan apa yang saya ajarkan ke anak-buahnya. Padahal pelajaran yang diberikan adalah ilmu broadcasting yang memang menjadi standar di dunia. “Tidak cocok untuk di sini”, kata si boss. Analoginya begini.. Untuk berprofesi menjadi dokter ada pendidikan yang standar, dimana-mana di dunia sama saja.Seorang mahasiswa Afirka belajar di Eropa untuk jadi dokter. Tetapi ketika dokter itu pulang kampung dan ingin mempraktekkan ilmu kedokterannya itu di benua Afirka, tiba-tiba seorang dukun dari sebuah suku di Afrika mengatakan bahwa ilmu kedokterannya itu tidak cocok untuk penduduk desanya.. he.he…. Jadi kasianlah para karyawannya yang sudah belajar dan ingin berubah maju, tetapi tidak boleh oleh boss-nya sendiri. Lingkungannya tidak memberikan peluang untuk berubah.(5) Kemungkinan alasan yang ke-lima, yaitu: Sudah dicoba sedikit untuk berubah tapi gagal, sehingga perubahan dihentikan dan kembali ke yang lama. Ini kemungkinan ke-lima yang menyebabkan orang tidak mau berubah. Ini terjadi di Bandung. Ketika itu saya dibayar untuk melatih karyawan dan mengawasi proses perubahannya. Saya katakan proses perubahan akan berjalan 1 tahun, dan akan tertanam di seluruh karyawan serta menjadi citra baru stasiun radio tersebut setelah 6 bulan kemudian (total 1,5 tahun !). Tetapi ketika proses perubahan sedang mulai dilakukan, pada 4 bulan pertama, tiba-tiba si pemilik stasiun menghentikan proses perubahan dan kembali kepada format, acara dan gaya siaran yang lama.Alasannya, menurut si boss, ternyata perubahan ini berdampak negatif terhadap stasiun. Terlihat dengan jumlah pendengar yang menurun, serta komplain dari pemasang iklan. Lucunya, ini semua sudah saya katakan sejak awal, bahwa dalam setiap perubahan format & gaya siaran, pasti akan terjadi penurunan jumlah pendengar dan komplain dari advertiser. Ini hanya terjadi dalam tahapan proses awal. Grafik akan kembali menaik apabila perubahan terus dilakukan sesuai dengan rencana.Jadi, sebelum perubahan dilakukan, rencana seharusnya diyakini dengan baik, lalu yakini pula prosesnya dan perhitungkan apa yang akan terjadi dalam tahapan-tahapannya. Baru kemudian di implementasikan tanpa harus ragu-ragu lagi. Melanjutkan kisah radio Bandung tadi, maka akhirnya radio tersebut justru berantakan sama sekali akibat keragu-raguan dalam implementasi perubahannya. Tetapi siapa yang disalahkan? Tentu saja saya. Dikatakan bahwa ilmu broadcasting yang saya berikan tidak cocok untuk Bandung. Menurut dia, terbukti setelah dilaksanakan dalam 4 bulan, tidak membuat stasiun radio itu menjadi bagus.(Sigh!) Padahal bukan begitu kejadiannya. Saya sudah katakan perubahan ini harus berjalan dalam waktu 1,5 tahun. Tetapi karena si pemilik ragu-ragu dalam implementasinya, baru berjalan 4 bulan malah disuruh kembali lagi ke model lama. Begitu duduk persoalan yang sebenarnya. Apa boleh buat: Menghentikan proses perubahan yang sedang berjalan itu bakal jadi bencana besar. Untuk menambah kesedihan, akhir cerita…. Sekarang stasiun radio tersebut sudah dijual.Nah ada 5 sebab mengapa tidak mau berubah. Kira-kira sebab yang mana ya, yang membuat siaran televisi kita tidak ada perubahan juga? (arm)Sumber: http://broadcastsukses.blogspot.co.id/2010/11/tv-swasta-kita-sulit-berubah.html
Jan 16, 2025 0
Jan 16, 2025 0
Jan 16, 2025 0
Jan 15, 2025 0
Aug 06, 2024 Comments Off on Implementasi AI (Artificial Intelligence) dalam Dunia Broadcasting Masa Kini dan Nanti
Mar 30, 2024 Comments Off on ABU-DBS 2024: LPP TVRI Mendorong Perubahan positif, dan Menciptakan Ekosistem Penyiaran dan Media yang Lebih Baik
Sep 07, 2020 Comments Off on Berita Negatif di TV
Oct 07, 2019 Comments Off on Masalah Produk atau Pemasaran?
Jun 20, 2024 Comments Off on Lebih Dekat Dengan Designer Indonesia Cynthia Tan
Jakarta, Broadcastmagz – Cynthia Tan, desainer fesyen...May 06, 2024 Comments Off on Punya Single Lagu Timur, Gunawan Enjoy Banget
Jaka, Broadcastmagz – Bernama lengkap Gunawan...Mar 23, 2024 Comments Off on Iman Brotoseno, Direktur Utama TVRI: Menjaga Eksistensi TVRI di Era Digital
Jakarta, Broadcastmagz – Hari Rabu, 15 November 2023...
Oct 25, 2023
Comments Off on
Rubi Roesli, Arsitek dan Founder dari Biroe Architecture & Interior Kembali Menata Interior
JFW2024
Jun 07, 2023 Comments Off on DJ Asto, Dari Musik ke Politik
Profesi adalah suatu pekerjaan atau jabatan yang menuntut...Aug 06, 2024 Comments Off on Implementasi AI (Artificial Intelligence) dalam Dunia Broadcasting Masa Kini dan Nanti
Nov 08, 2024 Comments Off on KPI Gelar Anugerah KPI 2024: “Penyiaran Tumbuh, Indonesia Maju”
Feb 14, 2024 Comments Off on KPI Minta MNC Group Menghentikan Penayangan Konten Siaran Berunsur Kampanye pada Hari Pemungutan Suara
Jun 27, 2022 Comments Off on Gubernur Sulut Nilai Gerakan Literasi Tingkatkan Kualitas Isi Siaran
Jun 27, 2022 Comments Off on Media Penyiaran Hadapi Persaingan Tak Adil dari Media Berbasis Internet
Feb 22, 2017 Comments Off on Jejak Langkah Televisi Indonesia
Jejak Langkah Televisi Indonesia Dari Era Analog ke...Oct 06, 2016 Comments Off on On Air To Online Pengantar Penyiaran Radio
On Air To Online Pengantar Penyiaran Radio Industri siaran...Jul 10, 2014 Comments Off on Panduan Wawancara Televisi
Judul Buku: Panduan Wawancara Televisi Nama Pengarang:...Jul 10, 2014 Comments Off on Radio is Sound Only
Judul Buku: Radio Is Sound Only Pengantar & Prinsip...Jul 10, 2014 Comments Off on Kamus Istilah Penyiaran Digital
Judul Buku: Kamus Istilah Penyiaran Digital Nama Pengarang:...