Memiliki Maksud
Pernah ada yang bertanya kepada saya apakah memasang lagu / musik juga dikatagorikan sebuah komunikasi? Dari berbagai definisi tentang komunikasi bisa saya simpulkan bahwa: (1) komunikasi tidak mesti harus melalui kata-kata dan kalimat saja, baik yang diucapkan maupun yang ditulis, bisa juga dengan stimulan lain. Misalnya, berkomunikasi dengan isyarat. (2) Pesan / Stimulan tadi (baik kata / kalimat / isyarat dll.) dikirimkan dengan memiliki suatu “maksud dan tujuan”. (3) Setelah pesan / stimulan itu diterima oleh komunikan, haruslah terjadi suatu modifikasi pada diri si komunikan sesuai dengan maksud si komunikator.
Kebanyakan dari kita yang berkecimpung dalam dunia terkait komunikasi, seperti: Penyiar, reporter / wartawan, MC dsb, mungkin karena sudah menjadi kegiatan rutin sehari-hari, suka mengabaikan atau melupakan ke-3 butir ini. Akibatnya sangat sering kita melihat penyiar yang banyak bicara, tetapi ketika kalimatnya selesai kita tidak mendapatkan maksudnya supaya pendengarnya apa nih? Misalnya: “Menjelang liburan Natal dan Tahun Baru, mall-mall di Jakarta selalu penuh dengan orang-orang yang berbelanja untuk keperluan akhir tahun.”… Lalu,.. dengan diberikannya informasi ini oleh si penyiar kepada kita (pendengar / pemirsa), maksudnya supaya kita apa? Supaya kita tidak usah ke mall-kah? Atau disarankan lebih baik mengisi liburan ke luarkota-kah?
Juga sering kita lihat bagaimana reporter atau pewawancara di televisi melontarkan pertanyaan kepada seseorang tetapi seperti asal bertanya saja, malah kadang-kadang bertanya yang jawabannya sudah tahu kita ketahui. Seorang reporter berita sebuah stasiun televisi mewawancarai para calon penonton sepakbola yang sudah kehabisan karcis / tiket masuk pertandingan Final Piala AFF (Indonesia vs Thailand) minggu lalu di Bogor. Si reporter bertanya: “Bagaimana rasa-nya tidak kebagian tiket?”. Hahaha..Blo’on berat deh. Sudah pastilah jawabannya: “kecewa”.
Ini karena mereka lupa bahwa setiap komunikasi haruslah memiliki maksud / tujuan. Kalau tidak, itu bukanlah komunikasi karena tidak akan terjadi perubahan apa-apa dari pendengar / pemirsa. Si reporter melupakan, apa maksud dia melontarkan pertanyaan itu? Bukankah kita bertanya karena mengharapkan sebuah informasi yang belum kita ketahui sebelumnya. Kalau kita sudah tahu, tentulah seharusnya kita tidak perlu melontarkan pertanyaan tersebut. Jelaslah si reporter bertanya hanya dikarenakan harus bertanya, tanpa tahu tujuannya. Kalau saya yang menjadi reporter pastilah yang saya lontarkan adalah pertanyaan seperti ini: “Saya dapat informasi bahwa tiket masih banyak tetapi ada ditangan para calo. Dan beda harganya juga tidak terlalu banyak. Kenapa anda tidak membeli tiket dari calo?”
Berkomunikasi Melalui Musik
Lagu / musik yang kita dengar juga bisa membuat terjadinya modifikasi pada diri kita yang mendengarkan. Menurut penilitian, paling tidak mood (suasana hati) bisa terpengaruh. Artinya, melalui musik pun dapat terjadi komunikasi. Seorang penyiar yang sedang siaran di radio apakah memiliki maksud / tujuan ketika ia memilih lagu tersebut untuk diudarakan kepada pendengarnya? Seharusnyalah memang setiap lagu yang diudarakan oleh seorang penyiar radio (atau yang telah disusun oleh music-director) harus dirancang sedemikian rupa sehingga mampu melakukan modikasi mood pendengarnya.
Kembali ke lagu-lagu bernuansa Natal di café dan mall, tentu saja tujuannya adalah menciptakan suasana hati dengan “rasa” tertentu bagi para pengunjung. Rasa ini sangat pribadi sifatnya, dimana masing-masing orang memiliki “rasa” yang berbeda tergantung dengan pengalaman yang pernah dilaluinya bersama lagu-lagu tersebut. Walaupun saya sendiri beragama Islam, tetapi secara umum rhythm, beat dan melody lagu-lagu Natal selalu membangkitkan rasa gembira dan santai. Kalau anak-anak saya waktu kecil bilangnya begini: “Kalau dengar lagu-lagu Natal kesannya selalu liburan deh pa.. “ Yaa memang mungkin ada benarnya juga, karena sejak mereka kecil, pada setiap akhir tahun kami sekeluarga selalu pergi berlibur bersama.
Nah.. mood liburan ini pula yang kembali saya rasakan ketika terdengar lagu-lagu Natal mengiringi saya dan seorang teman duduk menikmati hidangan dan minuman di sebuah café pada akhir tahun 2016. Tapi ada tapinyaa… yaitu: volume musik / lagu2 disitu agak terlalu keras. Sehingga kalau mau bercakap-cakap kita harus setengah berteriak. Lalu saya minta waiter untuk menurunkan volume musiknya. Tetapi dia tidak berani karena katanya sound-system di tempat tersebut sudah di-set oleh si boss dan tidak boleh dirubah-rubah.
Terpaksalah obrolan diilakukan dengan setengah berteriak. Walhasil, mood gembira, santai dan serasa liburan tidak tercipta, malah yang ada jadi “tense / ketegangan” akibat volume musik yang berisik. Hal seperti ini sering sekali saya alami di banyak tempat, dimana musik yang seharus dimaksudkan untuk menjadi backsound (suara latar) agar terbangun suasana yang sesuai, tetapi dipasang dengan volume terlalu keras sehingga malah menjadi pengganggu suasana.
Ternyata menurut para peniliti seperti: Clarke, E. F. (1999) dalam buku “The Psychology of Music”, memang musik sangat berpengaruh pada suasana hati seseorang.
Berikut ini faktor – faktor pada musik yang sangat berpengaruh pada mood:
Rhythm & Tempo: Lagu dengan iramanya yang lebih cepat, akan membangun kesan bergairah daripada lagu dengan irama dan tempo yang lebih lambat.
Melody: Susunan nada yang fluktuatif dengan nada-nada mayor, akan memberi kesan gembira, ketimbang lagu dengan melodi yang datar dan bernada minor, yang akan memberi kesan sedih ataupun mencekam.
Volume: Volume musik yang besar (keras berisik) akan berdampak pada fisik dimana jantung akan memompa darah lebih cepat, sehingga mood-nya akan terasa tegang (mudah marah, tidak tenang, dsb). (arm)